Hukum Pidana

HUKUM PIDANA

  1. A.    Pengertian Hukum Pidana

Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut pemerintah.

Namun walaupun peraturan-peraturan itu sudah dikeluarkan, masih banyak oranga yang melangarnya, misalnya peraturan tentantang pencurian yaitu mengambil barang orang lain dan bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal 362).

Hukum pidana itu adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancar dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.[1]

Menurut van hammel Hukum Pidana adalah “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan tersebut”.[2]

  1. B.     Sejarah hukum Pidana di Indonesia

Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang tertulis dan telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan hukum ini telah disebar dimana-mana sebab tiap-tiap badan legislatif dan orang-orang yang telah diserahi tugas untuk menjalankan undang-undang (Presiden, Mentri, kepala daerah, Komandan, Tentara dan Sebagainya) berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman bagi yang melanggar. Tentu saja peraturan-peraturan pidana itu dibuat oleh Badan legislatif dan Badan Eksekutif yang lebih rendah kedudukannnya.

Di Indonesia pemberlakuan hukum pidana melalui beberapa masa , yaitu sebagai berikut :

  1. 1.      Masa Sebelum Kedatangan Penjajah

Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal danmemberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan diwilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.  Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-harimasyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secarat urun-temurun dan bercampur menjadi satu.

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yangberisihukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adatSumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

  1. 2.      Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
    1. a.      Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799.

Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (VereenigdeOostIndische Compagnie). Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi.

  1. b.      Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)

Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUDNegeriBelanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional

  1. c.       Masa Regering Reglement (1855-1926)

Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadimonarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 denganadanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan inimengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia.

 

  1. d.      Masa Indische Staatregeling (1926-1942)

Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement(RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melauiStaatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wettahun1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia-Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia-Belandaakan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voorNetherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.

  1. e.       Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sahuntuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.

 

  1. 3.      Masa Setelah Kemerdekaan

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu :

  1. Pertama Masa Pasca kemeredekaan dengan Konstitusi UUD 1945.

Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yangmerdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadibangsayang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakansistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukumnasionalbelum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang adamasih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurutUndang Undang Dasar ini.Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:

ü  Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia padatanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.

ü  Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan PeralihanUUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.

Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yangdikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku.

Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan “Veror dening envan het militer gezag”. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. “Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggibala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut”.

Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UUNomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen vanStrafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlakutanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan diIndonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah duahukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh paraahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.

  1. Masa Setelah Indonesia Menggunakan Konstitusi Negara Serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat).

Tahun 1949-1950 Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan : “Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidakdicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”.

Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.[3]

  1. Masa Indonesia Menggunakan Konstitusi Sementara (UUDS 1950-1959)

Tahun 1950-1959 Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: “Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tatausaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan danketentuanketntuanRepublik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturandan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.

Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masasebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undangHukumPidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang PeraturanHukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan : “Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan.

Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. ”Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

  1. masa Indonesia kembali kepada UUD 1945 – Sekarang.

Tahun 1959- Sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik denganUUD1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihanyang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk disini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesiatelah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang HukumPidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.[4]

KUHP ialah kitab peraturan pidana yang di pakai sehari hari. Dengan mempelajari KUHP kita dapat mengetahui seluk-beluk Hukum Pidana kita. KUHP yang sekarang berlaku bukanlah asli buatan indonesia, kitap Undang-Undang hukum Pidana ini lahir dah telah mulai berlaku sejak 1 januari 1918 saat zaman Hindia-Belanda dahulu. Hukum Pidana sendiri terdiri dari 3 aspek, yaitu : satu dan dua  disebut hukum pidana materil, dan yang ketiga dapat disebut formil.[5]

Dengan KUHP itu maka mulai 1 januari 1918 berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk indonesia (Unifikasi Hukum Pidana). Sebelum itu di Indonesia berlaku 2 KUHP yaitu : Golongan Eropa (1 januari 1867) dan Golongan Indonesia ( 1 januari 1973).

KUHP golongan Indonesia (1873) merupakan copy (turunan) dari KUHP untuk golongan Eropa (1867), dan KUHP untuk golongan Eropa juga turunan dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis di zaman Napoleon 1811.

Perbedaan antara  KUHP indonesia dengan KUHP Eropa terutama pada jenis hukuman yang diberikan. Misalnya : Orang Indonesia disuruh kerja paksa dengan leher diikat dengan rantai besi atau disuruh bekerja dengan tidak di beri upah sama-sekali. Sedangkan pada Orang Eropa tidak, mereka hanya diberi hukuman penjara atau kurungan.[6]

 

  1. C.    Pembagian Hukum Pidana

Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut :

  1. Hukum Pidana Objektif (Ius Punale), yang dapat dibagi dalam:

Hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, larangan mana disertai dengan ancaman pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga disebut Hukum Pidana Material.

Hukum Pidana Formal  adalah Hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang mmelanggar peraturan pidana (Merupakan pelaksanaan dari hukum material).

  1. Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi)

Adalah hak negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan Hukum Pidana Objektif. Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak negara untuk menghukum. Hukum Pidana Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu.[7]

  1. Hukum Pidana Umum

Hukum Pidana yang ditujukan dan berlaku untuk ssemua warga penduduk negara (subyektif hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subyek hukum tertentu. Setiap warga penduduk negara harus patuh dan tunduk terhadap Hukum Pidana Umum.

  1. Hukum Pidana Khusus

Hukum Pidana yang dibentuk  oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu. dapat dibagi lagi ke dalam :

  1. Hukum Pidana Militer, berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
  2. Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak (wajib pajak).[8]

 

  1. D.    Tujuan Hukum Pidana

Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan bahan-bahan mengenai Hukum Pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang “Perbuatan yang dapat dihukum”.

Tujuan Hukum Pidana adalah memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu : Asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukan dalam satu sistem. penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis.

Selain itu hukum pidana dilihat sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuik membrantasnya.[9]

 

  1. E.     Delik-Delik Tertentu KUHP
    1. delik-delik kekerasan
    2. delik terhadap nyawa
    3. delik penganiyaan
    4. delik pencurian dengan kekerasan
    5. delik pemerasan, pengancaman, kejahatan jabatan dengan paksaan
    6. delik kekayaan
    7. delik penggelapan
    8. delik penadahan
    9. delik pemalsuan
    10. delik kesusilaan
    11. delik penghinaan
    12. delik yang berkaitan dengan kerusuhan.[10]


[1] Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. “Pokok-Pokok Hukum Pidana”,  PT Pradnya Paramita, jakarta, 2007, (hal3)

[5] Drs. Adami Khazawi, S.H. “Pelajaran Hukum pidana”, PT rajaGrafindo Persada. jakarta. 2002. (Hal 2)

[6] Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. “Pokok-Pokok Hukum Pidana”,  PT Pradnya Paramita, jakarta, 2007, (hal 7)

[7] Ibid, “Pokok-Pokok Hukum Pidana”,  (hal 9)

[8] Drs. Adami Khazawi, S.H. “Pelajaran Hukum pidana”, jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2002. (Hal 11)

[9] Ibid, “Pokok-Pokok Hukum Pidana”,  (hal 11)

[10] Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah. “delik-delik tertentu di dalam KUHP”. jakarta. Sinar Grafika. 2009.

Leave a comment